Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat.
Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً وَلَوْ شَاء رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am: 112)
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap nabi itu memiliki musuh dakwah yang menyebarkan bisikan-bisikan kesesatan yang dipoles dalam bentuk yang indah dalam rangka menipu umat. Dan begitu juga para pelanjut dakwah para nabi memiliki banyak lawan dan musuh yang melontarkan kesesatan yang dikemas dalam kemasan yang menarik sehingga menipu umat.
Itulah kiranya apa yang dilakukan penulis buku “Mereka Bukan Thaghut” yang bernama Khairul Ghazali yang merelakan dirinya untuk menjadi corong para thaghut dalam rangka menutupi kekafiran dan kedzaliman mereka yang nampak jelas dan dalam rangka memfitnah dakwah tauhid dengan fitnah yang busuk.
Tulisan saya ini akan menyoroti dua hal:
– Pertama, menyoroti pengkaburan makna thaghut yang dilakukan Khairul Ghazali dalam bukunya.
– Dan yang ke dua adalah bantahan terhadap fitnah dia terhadap saya bahwa saya mengkafirkan semua PNS dan menganggap semua PNS itu sebagai thaghut.
Pertama, menyoroti pengkaburan makna thaghut
Khairul Ghazali membela pemerintah thaghut dengan cara mencampur-adukan makna thaghut secara lughawiy (bahasa) dengan makna syar’iy (istilah), dan saat menyimpulkan tulisannya ini dia berpegang terhadap makna lughawiy dan mencampakkan makna syar’iy. Sehingga dia memasukan dalam rengrengan thaghut itu para ahli maksiat yang tidak sampai pada tahap kekafiran seperti koruptor, ahli maksiat, perampas hutan dan alam rakyat dan yang lainnya, dimana dia berkata dalam bukunya itu, “Pada saat sekarang, aktifitas perang dengan thaghut –setan, pengumbar nafsu, pengobral narkoba, koruptor, tukang sihir, ahli maksiat, dukun/tukang santet, mafia peradilan, penguasa yang menyalah gunakan kekuasaan, polisi/TNI yang menganiaya dan menindas rakyat, parampas hutan dan alam rakyat, dan yang lainnya– tidak boleh dilakukan dengan kekerasan…” (hal. 70-71).
Padahal Islam itu datang dengan membawa perubahan makna lughawiy kepada makna syar’iy, umpamanya kata sholat secara lughawi adalah do’a sedangkan makna syar’i adalah ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Begitu juga shaum, secara bahasa adalah al imsak (menahan diri) sedangkan makna syar’iy adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan badan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat. Maka begitu (pula istilah) thaghut secara bahasa maknanya adalah melampaui batas, sedangkan makna syar’iy adalah segala yang dilampaui batasnya oleh si hamba baik itu yang diibadati ataupun yang diikuti ataupun yang ditaati.
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah berkata : “Dan yang benar menurut saya tentang (makna) thaghut adalah segala yang menentang terhadap Allah dimana dia diibadati selain-Nya, baik dengan paksaan darinya terhadap yang mengibadatinya maupun dengan ketaatan kepadanya dari yang mengibadatinya, sama saja baik yang diibadati itu adalah manusia, atau syaitan, atau berhala, atau patung atau apa saja.” (Tafsir Ath Thabari 3/21, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 66).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Thaghut adalah wazan fa’alut dari thughyan, sedangkan thugyan itu adalah melampaui batas, yaitu kedzaliman dan aniaya. Maka yang diibadati selain Allah bila dia itu tidak membenci peribadatan tersebut adalah thaghut, oleh sebab itu nabi shallallahu’alaihi wa sallam menamakan patung-patung sebagai thaghut di dalam hadits shahih tatkala beliau berkata: “Dan orang yang menyembah para thaghut dia mengikuti para thaghut itu.” Dan yang ditaati dalam maksiat kepada Allah, juga yang ditaati dalam mengikuti kesesatan dan dalam selain dienul haq, baik dia itu diterima beritanya yang menyelisihi kitabullah atau ditaati perintahnya yang menyelisihi perintah Allah maka ia itu adalah thaghut, oleh sebab itu orang yang dirujuk hukum yang memutuskan dengan selain kitabullah adalah dinamakan thaghut,…” (Majmu’ Al Fatawa: 28/200, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 66).
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : “Thaghut adalah segala yang dilampaui batasnya oleh si hamba, baik itu yang diibadati ataupun yang diikuti ataupun yang ditaati, maka thaghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka merujuk hukum kepadanya selain Allah dan Rasul-Nya, atau yang mereka ibadati selain Allah, atau yang mereka ikuti di atas selain petunjuk dari Allah, atau yang mereka taati di dalam apa yang mereka tidak ketahui bahwa itu adalah ketaatan kepada Allah; ini adalah thaghut-thaghut di dunia, jika memperhatikannya dan memperhatikan keadaan manusia bersamanya tentu engkau melihat mayoritas mereka telah berpaling dari peribadatan kepada Allah (ibadatullah) terhadap peribadatan kepada thaghut (ibadatuththaghut), dan dari ketaatan kepada-Nya serta ittiba kepada Rasul-Nya terhadap ketaatan dan ittiba kepada thaghut.” (A’lamul Muwaqqi’in: 1/50, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 67).
Imam Al Qurthubiy rahimahullah berkata: “Thaghut adalah dukun, setan, dan setiap tokoh dalam kesesatan.” (Al Jami Li Ahkamil Qur’an: 3/282, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 67).
Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Al Laits, Abu Ubaidah, Al Kisa-iy dan jumhur ahli bahasa berkata: Thaghut adalah segala yang diibadati selain Allah ta’ala.” (Syarh Shahih Muslim: 3/18, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 67).
Perlu diingat bahwa yang namanya ibadah itu bukan hanya ritual sholat, do’a, istighatsah, sujud dan hal-hal yang serupa itu yang sudah diketahui olah banyak orang, akan tetapi penyandaran hak pembuatan hukum atau ketaatan kepada hukum buatan itu adalah peribadatan kepada si pembuat hukum tersebut sebagaimana penjelasan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam. Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah menjadi musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Jadi bentuk peribadatan di sini adalah ketika alim ulama itu membuat hukum di samping hukum Allah, kemudian hukum tersebut diikuti dan ditaati oleh para pengikutnya, maka si alim ulama atau pendeta tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala cap mereka sebagai Arbab atau sebagai orang yang memposisikan dirinya sebagai tuhan selain Allah, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagi pembuat hukum atau sebagai tuhan selain Allah, maka dia itu adalah orang kafir. Dan dalil yang lain adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang menetapkan bagi mereka dari dien (hukum/ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan?” (QS. Asy Syuura: 21)
Dalam ayat ini Allah mencap para pembuat hukum selain Allah sebagai syuraka’ (sekutu-sekutu) yang diangkat oleh para pendukungnya sebagai sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah adalah orang kafir.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Thaghut adalah umum mencakup segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedang dia itu rela dengan peribadatan tersebut, baik yang disembah, atau yang diikuti, atau yang ditaati dalam bukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, ini adalah thaghut.
Thaghut-thaghut itu banyak sekali, sedangkan tokoh-tokohnya ada lima:
Pertama: Syaitan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah, sedangkan dalilnya adalah firman Allah:
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَن لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yaasiin: 60).
Kedua: Pemerintah yang dhalim yang merubah hukum-hukum Allah[1], sedangkan dalilnya adalah firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيداً
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisaa: 60)
Ketiga: Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah[2], sedangkan dalilnya adalah firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Keempat: Orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib padahal itu adalah hak khusus Allah, sedangkan dalilnya adalah firman-Nya:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً ٢٦ إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridlai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al Jinn: 26-27)
Dan firman-Nya:
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
”Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan apa yang ada di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al An’am: 59)
Kelima: Segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut, dan adapun dalilnya adalah firman Allah:
وَمَن يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّن دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
“Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain daripada Allah,” maka orang itu Kami beri balasan dengan jahannam, demikian Kami memberikan balasan kepada orang-orang dhalim.” (QS. Al Anbiyaa: 29)
Ketahuilah bahwa orang itu tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman kepada Allah kecuali dengan kufur terhadap thaghut, dan adapun dalilnya adalah firman Allah:
قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدمِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا
”Telah jelas kebenaran dari kesesatan, karena itu barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah: 256)
Ar Rusydu adalah agama Muhammad dan Al Ghayy adalah agama Abu Jahal, sedangkan Al ‘Urwah Al Wutsqaa adalah kesaksian Laa Ilaaha Illallaah, di mana hal ini mengandung penafian dan penetapan. Menafikan semua macam ibadah dari selain Allah, dan menetapkan seluruh ibadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Majmu’atut Tauhid)
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata: “Dan yang disimpulkan dari pernyataan salaf radliyallahu’anhum: Bahwa thaghut adalah segala yang memalingkan si hamba dan menghalanginya dari peribadatan kepada Allah dan (dari) pemurnian ketundukan dan ketaatan bagi Allah dan Rasul-Nya, baik dalam hal itu adalah syaitan dari kalangan jin dan syaitan dari kalangan manusia, maupun pepohonan, bebatuan dan yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam hal itu adalah pemutusan hukum dengan undang-undang di luar Islam dan diluar ajarannya serta hal lainnya yang dibuat oleh manusia untuk dijadikan bahan pemutusan hukum dalam perkara darah, kemaluan, dan harta, dan dengannya dia menggugurkan syari’at Allah berupa penegakkan hudud, pengharaman riba, zina, khamr, dan yang lainnya, yang mana undang-undang buatan itu telah menghalalkannya dan melindunginya dengan pemberlakuannya dan penerapan para aparatnya. Sedangkan undang-undang buatan itu sendiri adalah thaghut dan orang yang membuatnya serta yang mensosialisasikannya adalah thaghut juga. Dan begitu juga segala kitab yang dibuat oleh akal manusia dalam rangka memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’aihi wa sallam, baik secara sengaja ataupun tanpa kesengajaan dari pembuatnya, maka ia adalah thaghut.” (Hasyiyah Kitah Fathil Majid: 282 cetakan Darul Kutub Al Ilmiyyah, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 70).
Dan ucapan-ucapan ulama lainnya tentang makna thaghut secara syar’iy dan contoh-contohnya yang mana di antara thaghut yang disebutkan adalah para penguasa yang memberlakukan hukum buatan lagi meninggalkan hukum Allah. Adapun penekanan banyak para penulis tentang thaghut terhadap pembahasan kethaghutan para penguasa semacam yang tadi sudah disebutkan bukanlah dalam rangka menganggap tunggal makna thaghut terhadap mereka saja, akan tetapi pemberian porsi yang lebih banyak karena kondisi menuntut hal itu, dimana thaghut-thaghut yang lain pun seperti dukun dan tukang santet adalah berlindung atau mendapat perlindungan dari thaghut hukum.
Dan bahkan secara sentimen gaya BNPT Khairul Ghazali menyebutkan bahwa para da’i tauhid yang menentang ideologi pemerintah thaghut ini adalah thaghut pula, dimana dia berkata dalam hal 61 : “Pada tataran ini, para ideologi yang memompakan agitasi dan semangat jihad yang meluap-luap, akhirnya mereka telah resmi menjadi “thaghut” tanpa disadari –merujuk kepada makna thaghut, tindakan yang melampaui batas dan ekstrem di dalam memahami sesuatu dan bertindak radikal yang menimbulkan gangguan ketentraman dan keamanan bagi orang lain”
Tapi lucunya, dia menganggap pemerintah yang berhukum dengan hukum thaghut lagi memerangi pemberlakuan syari’at Islam adalah bahwa mereka itu bukan thaghut dan tidak kafir dengan merujuk kepada Syaikh Al Albani yang dalam permasalahan ini terjatuh dalam kesesatan paham Ghulatul Murjiah dimana menganggap tindakan pemerintah thaghut ini hanya kufrun duna kufrin (kekafiran kecil yang tidak mengeluarkan dari islam). Padahal itu adalah paham yang sesat yang menyelisihi aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang meyakini bahwa berhukum dengan undang-undang buatan itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam tanpa melihat keyakinan hatinya.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya terhadap ajaran Allah, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin.” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Ilyasa adalah kitab hukum yang dibuat oleh Jenggis Khan raja Tartar. Kitab ini merupakan kumpulan yang sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al Qur’an dan ajaran ahli bid’ah ditambah dengan hasil buah fikirannya lalu dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq. Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk kepada kitab seperti hukum ini, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin. Maka demikian pula dengan Yasiq ‘Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang Undang Dasar, KUHP, dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti orang Belanda dengan KUHP-nya), dan ada juga dari Islam seperti masalah pernikahan.
Lagi pula sesungguhnya kekafiran pemerintah ini bukan hanya dari sisi karena tidak memberlakukan (syariat) Islam dan menggantinya dengan hukum buatan saja, akan tetapi telah kafir dari banyak sisi yang di antaranya:
A. Mereka Menjadi Thaghut
Kenapa demikian?, ini karena mereka dengan dewan legislatifnya dan sebagian eksekutifnya mengklaim sebagai pembuat hukum, mengklaim yang berhak membuat hukum dan perundang-undangan, bahkan mereka telah membuat dan memutuskan, maka mereka adalah thaghut itu sendiri. Mereka menjadi pembuat hukum yang hukumnya diikuti (baca: diibadati) oleh ansharnya.
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa: 60)
Banyak masyarakat atau anshar thaghut atau siapa saja di antara mereka, ketika memiliki kasus di negeri ini, apakah mereka mengajukan kasusnya kepada hukum Allah ataukah kepada hukum selaim hukum Allah? Tentu mereka mengajukannya kepada hukum selain hukum Allah, yang mana hukum itu dibuat oleh para thaghut tadi di gedung Palemen, baik yang ada di lembaga legislatif atau lembaga eksekutif maupun para pemutusnya di dewan yudikatif.
Mereka adalah thaghut, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalan Risalah Fie Ma’na Thaghut, bahwa pentolan thaghut yang kedua adalah “Penguasa Dzalim Yang Merubah Ketentuan Allah”. Sedangkan di negeri ini, semua hukum Allah dirubah… mulai dari hukum pidana, perdata, ekonomi, dan lain-lain. Semua dicampakkan dan mereka sepakat tidak memakai hukum yang Allah turunkan, sedangkan sesorang tidak bisa dikatakan sebagai orang muslim kecuali bila kafir kepada thaghut. Dan bagaimana mereka bisa dikatakan muslim dan mereka berlepas diri dari thaghut sedangkan dalam hal ini mereka sendiri adalah thaghutnya…??!
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهاً وَاحِداً لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi rabb.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Ketika mereka menyandarkan hak hukum dan pembuatan hukum (tasyri’) kepada selain Allah, maka yang mengaku memiliki hak membuat hukum ini disebut arbab, yaitu yang memposisikan dirinya sebagau tuhan pengatur selain Allah. Saat hukum itu digulirkan dan diikuti, maka itu adalah arbab yang disembah. Orang yang sepakat di atas hukum ini atau yang mengacu atau yang merujuk pada hukum yang mereka gulirkan itu adalah orang yang Allah vonis sebagai orang musyrik yang menyembah atau mengibadati atau mempertuhankan mereka serta telah melanggar Laa ilaaha illallaah.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’am: 121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim rahimahullah dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu: Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, Rasulullah yang mengatakan: “Allah membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan: “Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang Mulia dengan pisau dari emas kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah.”
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, dan Allah katakan bahwa itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika menyetujui dan mentaati mereka, menyandarkan kewenangan hukum kepada selain Allah meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja (yaitu penghalalan bangkai) dengan firman-Nya “Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan bahwa:
1. Hukum yang bukan dari-Nya adalah wahyu syaitan.
2. Para penggulirnya (yang mengklaim dirinya berhak membuat hukum) dari kalangan manusia disebut wali-wali syaitan.
3. Yang menyetujuinya atau yang taat atau yang merujuk kepadanya disebut musyrikun.
Bila satu hukum saja dipalingkan dalam hak pembuatannya kepada selain Allah, maka berdasarkan ayat tadi, bahwa orang yang membuat hukum itu disebut wali-wali syaitan (taghut) yang telah mendapat wahyu atau wangsit dari syaitan, sedangkan orang yang mentaatinya atau setuju dengan hukum buatan tersebut adalah divonis oleh Allah sebagai orang musyrik.
Sedangkan yang ada di NKRI ─dan negara-negara lainnya─ adalah bukan satu, dua, tiga, sepuluh, atau seratus hukum saja, akan tetapi seluruh hukum yang ada di sini adalah bukan dari Allah, tapi dari wali-wali syaitan yang mendapat wahyu dari syaitan jin, baik wali-wali syaitan itu dahulunya orang Belanda (yang mewariskan KUHP) ataupun wali-wali syaitan zaman sekarang yang duduk di kursi parlemen, yang membuat, yang merancang, yang menggodok, atau apapun namanya dan siapa pun yang membuat hukum, maka pada hakikatnya mereka adalah wali-wali syaitan dan hukum yang mereka gulirkan hakikatnya adalah hukum syaitan.
Perhatikanlah… jika saja orang-orang yang SEKEDAR mentaati mereka maka Allah memvonisnya sebagai orang musyrik, maka apa gerangan dengan para pembuatnya atau orang yang memutuskan dengannya atau orang yang memaksa masyarakat untuk tunduk kepadanya dengan menggunakan besi dan api (kekuatan dan senjata)…?!!
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّه
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dalam dien (ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21)
Dalam ayat tersebut, siapa saja yang membuat syari’at atau hukum atau undang-undang atau ajaran yang tidak diizinkan oleh Allah dinamakan syuraka (sekutu-sekutu), karena mereka memposisikan dirinya untuk diibadati dengan cara menggulirkan hukum agar diikuti. Mereka merampas hak pembuatan hukum dari Allah, mereka merancang, menggodok, dan menggulirkannya di tengah masyarakat. Sedangkan orang-orang yang mentaati atau mengikuti hukum itu disebut orang yang menyembah syuraka tersebut.
B. Mereka berhukum dengan selain hukum Allah atau memutuskan dengan hukum thaghut
Mereka berhukum dengan hukum thaghut, karena selain hukum Allah yang ada hanyalah hukum jahiliyyah atau hukum thaghut, ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Maidah: 44:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir”
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Maidah: 50
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Dalam ayat-ayat di atas, orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan adalah orang-orang kafir, sedangkan pemerintah di negeri ini tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, akan tetapi memutuskan dengan hukum thaghut. Maka mereka pun divonis kafir berdasarkan ayat-ayat seperti ini, bahkan Allah memvonis orang-orang yang seperti ini sebagai orang-orang zalim dan fasiq dalam surat Al Maidah: 45 dan 47.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan dalam Risalah Fie Makna Thaghut, tentang Ruusuth Thawaghit (tokoh-tokoh para thaghut) yang ketiga yaitu: Yang Memutuskan Dengan Selain Apa Yang Allah Turunkan.
Jadi pemutus hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah adalah bukan sekedar thaghut, akan tetapi termasuk pentolan thaghut. Sedangkan iman kepada Allah tidak sah kecuali dengan kafir terhadap thaghut, lalu bagaimana mungkin Pemerintah NKRI ini dikatakan sebagai pemerintah muslim mukmin, sedangkan mereka bukan sekedar thaghut, akan tetapi salah satu tokohnya thaghut… maka mereka bukan hanya sekedar kafir, tapi amat sangat kafir!
C. Mereka merujuk kepada hukum thaghut, baik thaghut lokal, regional maupun internasional.
Disaat menghadapi masalah, masalah apa saja, maka pemerintah ini tidak merujuknya kepada hukum Allah, tapi kepada hukum thaghut yang bersifat lokal (seperti Undang Undang Dasar atau undang-undang atau yang lainnya), atau hukum-hukum regional, atau hukum-hukum yang ditetapkan oleh mahkamah Internasional PBB.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…” (QS. An Nisa’: 60)
Sungguh, mereka tidak merujuk kepada Al Qur’an atau As Sunnah, akan tetapi merujuk kepada selainnya. Sedangkan dalam surat An Nisa: 60 tadi, Allah merasa heran atas klaim orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab Allah sebelumnya, orang-orang yang ketika punya masalah justru ingin berhakim (mengadukan urusan) kepada thaghut. Perhatikanlah, dalam ayat tersebut sekedar ingin berhukum kepada thaghut sudah Allah nafikan keimanannya, imannya dianggap sekedar klaim dan kebohongan belaka, maka apa gerangan dengan orang-orang yang benar-benar bersumpah untuk merujuk kepada hukum thaghut…?!
Pemerintah ini, ketika masuk PBB diwajibkan untuk berikrar setuju atas segala peraturan yang digariskannya, begitu juga ketika jajaran pemerintahan dewan legislatif, eksekutif, yudikatif terbentuk, setiap orang diwajibkan bersumpah setia untuk menjalankan hukum negara, inilah syahadat mereka! inilah bai’at mereka. Apakah di Negara ini ada bai’at untuk taat setia kepada Al Qur’an dan As Sunnah ? Tentu jawabannya tidak ada ! Maka dari itu setelah bai’at kepada Undang Undang Dasar selesai, mereka selalu mengacu kepadanya. Jika seorang Presiden misalnya menyimpang, maka DPR/MPR akan memprotesnya dan mengatakan: “Presiden telah melanggar Undang Undang Dasar atau undang-undang…” dan tidak akan mengatakan: “Presiden telah melanggar Al Qur’an ayat sekian…”. Andaikata seluruh isi Al Qur’an dilanggar pun, maka mereka tidak akan mempermasalahkannya, asal tidak melanggar “kitab hukum suci” mereka, yaitu Undang Undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang berhakim dengan hukum Allah yang telah dihapus adalah kafir, beliau menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya daripada ajaran Allah, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Ilyasa adalah kitab hukum yang dibuat oleh Jenggis Khan raja Tartar. Kitab ini merupakan kumpulan yang sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al Qur’an dan ajaran ahli bid’ah, ditambah dengan hasil buah fikirannya lalu dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq. Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk kepada kitab hukum ini, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin. Maka demikian pula dengan Yasiq ‘Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang Undang Dasar, KUHP, dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti orang Belanda dengan KUHPnya), dan ada juga dari Islam seperti dalam masalah pernikahan.
Jadi ternyata serupa, maka siapa saja yang merujuk pada Yasiq modern ini, maka iapun kafir dengan ijma kaum muslimin, sedangkan perujukan-perujukan ini telah dilakukan oleh pemerintah NKRI ini…!!
D. Mereka menganut sistem Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kedaulatan/kekuasaan). Sistem ini merupakan penyerahan hak hukum atau kedaulatan kepada rakyat. Sistem perwakilan yang ada di dalamnya memberikan hak ketuhanan kepada wakil rakyat yang duduk di parlemen untuk membuat, menetapkan dan memutuskan hukum.
Demokrasi merupakan salah satu bentuk perampasan hak khusus Allah dalam At Tasyri’ (pembuatan, penetapan dan pemutusan hukum atau undang-undang). Hak ini adalah hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hak khusus rububiyyah dan uluhiyyah Allah, hak khusus yang seharusnya disandarkan oleh makhluk hanya kepada Allah. Akan tetapi demokrasi merampasnya dan justeru hak itu diberikan kepada makhluk. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Hak memutuskan hukum itu hanyalah khusus kepunyaan Allah. Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40)
Firman-Nya: “Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”, bermakna: Kalian diperintahkan untuk tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, karena Allah-lah yang berhak untuk membuat, menentukan, dan memutuskannya. Dan dalam ayat ini penyandaran hukum kepada Allah disebut ibadah. Sedangkan dalam demokrasi; hukum disandarkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya, maka demokrasi adalah sistem syirik, karena memalingkan ibadah penyandaran hukum kepada selain Allah.
Demokrasi adalah sistem syirik yang membangun pilar-pilarnya di atas sekularisme, di atas kebebasan; bebas meyakini apa saja walaupun pendapat syirik atau kekafiran sekalipun. Demokrasi tidak mewajibkan menusia untuk taat kepada ajaran Allah, tapi harus taat kepada kesepakatan rakyat, tatanan perundang-undangan yang berlaku, yang mana notabene adalah hukum buatan manusia.
E. Mereka memiliki Idiologi/falsafah/asas/pedoman/petunjuk hidup/nafas bangsa, yaitu Pancasila.
Pancasila adalah dien, karena dien adalah jalan hidup, agama, aturan dan pedoman hidup, falsafah atau silahkan orang menyebutnya apa saja… tapi yang jelas Pansacila adalah dien. Ini singkat saja kita tinjau.
Dalam Pancasila dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi kita tidak tahu siapa yang dimaksud, karena Pancasila mengakui berbagai agama dengan tuhan-tuhannya masing-masing yang beraneka ragam. Maka cukuplah falsafah ini menjadi sesuatu yang rancu bagi orang yang berakal.
F. Tawalliy (loyalitas penuh) kepada kaum musyrikin
Mereka loyal kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, tunduk kepada undang-undang internasional dan peraturan lainnya yang ada di dalam tubuh PBB. Apapun yang ditetapkannya maka otomatis diikuti. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum muslimin untuk loyal kepada orang-orang kafir, Allah menyatakan dalam surat Al Maidah: 51:
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
“Siapa saja yang tawalliy di antara kalian terhadap mereka maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.”
G. Mereka memperolok-olok ajaran Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang segala bentuk kemungkaran, sedangkan pemerintahan Negara ini justru memberikan izin bagi beroperasinya tempat-tempat kemungkaran –dengan dalih tempat hiburan–, membiarkan berkembangnya media-media penebar kesyirikan, kekufuran, kerusakan dan kebejatan –dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi– dan lain-lain. Itu adalah beberapa perolok-olokan terhadap ajaran Allah, sedangkan memperolok-olok ajaran Allah adalah kekafiran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ٦٥ لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ ٦٦
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah: 65-66).
Intinya, jelaslah bahwa Negara dan pemerintahan ini kekafirannya berlipat-lipat. Setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak tunduk pada aturan Allah, maka negara tersebut adalah negara kafir, negara dzalim, negara fasiq dan negara jahiliyyah berdasarkan firman-firman Allah tersebut.
Khairul Ghazali menuturkan tafsir ulama tentang thaghut, akan tetapi tidak memahaminya dan justeru mencampakkannya dan malah bersikukuh dengan makna lughawiy saja sedangkan tafsir para ulama itu sangat jelas bahwa di antara thaghut itu adalah penguasa yang membuat hukum dan meninggalkan hukum Allah (Silahkan dirujuk ke bukunya di hal. 23-70). Namun dia menganggap penafsiran thaghut yang beragam itu sebagai bentuk perselisihan ulama, padahal bukan perselisihan, akan tetapi pemberian contoh thaghut yang beraneka ragam bentuknya, yang mana semuanya benar dan di antaranya adalah penguasa yang memberlakukan hukum buatan seperti pemerintah NKRI ini dimana Khairul Ghazali mati-matian mengkaburkan kekafirannya.
Kedua, Bantahan Terhadap Fitnah Dia Terhadap Saya Bahwa Saya Mengkafirkan Semua PNS dan Menganggap Semua PNS Itu Sebagai Thaghut.
Khairul Ghazali secara dusta dan mengada-ada menuduh saya telah mengkafirkan semua PNS dan menganggap mereka semua sebagai thaghut, dimana dia berkata di dalam beberapa tempat di bukunya, di antaranya:
1. Pada halaman 21, dalam catatan kaki dia berkata : “Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, pelaku tidak pidana terorisme yang divonis 9 tahun, dalam artikelnya yang berjudul Hukum Menjadi PNS, mengatakan dasar ditetapkannya pemerintah dan PNS sebagai thaghut adalah Sumpah Pegawai Negeri Sipil RI…”
2. Pada halaman 158 s/d 159, dia mengatakan: “Sekarang, gerakan takfir telah menggema kembali di tanah air. Beberapa gerakan dakwah yang mengusung “radikalisme Islam” telah secara terang-terangan mengatakan bahwa semua PNS telah murtad –dengan kata lain, batal keislamannya. Sedangkan semua orang yang bekerja di pemerintahan, semua pegawai negeri sipil, termasuk para guru adalah penyembah thaghut. Untuk lebih jelasnya statemen ini ada baiknya kita baca terlebih dahulu pemikiran salah satu pentolan tokoh radikal, Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, dalam tulisannya yang berjudul “Pegawai Negeri Sipil Pemerintahan Thaghut.” Terus dia berkata: “PNS Dianggap Thaghut Oleh Abu Sulaiman Aman Abdurrahman.”
Maka saya katakan: Maha Suci Engkau Ya Allah… sungguh ini adalah dusta dan kebohongan Khairul Ghazali terhadap saya, karena pertama, saya tidak pernah mengkafirkan seluruh PNS sebagaimana yang dituduhkan oleh Khairul Ghazali, dan saya pun tidak pernah menyebut PNS sebagai thaghut dan itu hanyalah rekaan Khairul Ghazali saja agar masyarakat antipati dengan dakwah tauhid, juga saya tidak pernah membuat tulisan yang berjudul Hukum Menjadi PNS dan tulisan yang berjudul “Pegawai Negeri Sipil Pemerintahan Thaghut” tersebut di atas, namun yang saya tulis adalah tulisan berjudul Status Bekerja Di Dinas Pemerintah Thaghut dan tulisan yang berjudul Rincian Bekerja Di Dinas Pemerintahan Thaghut, sedangkan bila ada sebagian orang yang menampilkan tulisan-tulisan tersebut dengan judul yang berbeda dengan kedua judul yang saya tulis maka hal tersebut di luar sepengetahuan dan tanggung jawab saya. Dan di dalam kedua tulisan saya tersebut tidak ada pengkafiran terhadap semua PNS atau menyebutkan bahwa semua PNS adalah thaghut. Bahkan Khairul Ghazali sendiri menampilkan tulisan saya yang merinci status pekerjaan di dinas pemerintahan thaghut ini, di mana di dalamnya ada yang sifatnya pekerjaan yang merupakan kekafiran, ada juga yang merupakan sifatnya pekerjaan yang haram, dan ada juga yang mubah (boleh). Tapi kenapa dia menyimpulkan dengan kesimpulan yang sangat jauh dari apa yang telah diuraikan yang mana orang awam sekalipun bisa memahami rincian uraian dalam tulisan saya tersebut, namun dia entah karena pesanan BNPT atau karena kedunguannya kok tidak bisa memahami apa yang bisa dipahami orang awam sekalipun.
http://millahibrahim.wordpress.com/2012/01/09/ya-mereka-memang-thaghut/